Pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk menjadi bekal di masa depan. Pendidikan merupakan unsur pokok dalam upaya menyiapkan generasi yang akan membawa dan meneruskan nilai sebuah peradaban. Pendidikan erat kaitannya dengan proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan murid, walaupun pada dasarnya di luar dari itu Pendidikan juga bisa didapat dengan belajar otodidak dan belajar dari pengalaman.
Mendidik dan mengajarkan ilmu merupakan kewajiban setiap muslim, tentunya dengan sebatas ilmu yang ia ketahui. Paling tidak dia harus mendidik orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya. Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim : 6)
Mendidik serta mengajarkan merupakan tugas para Nabi dan Rasul, sebagaimana yang Allah jelaskan dalam firman-Nya:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيْهِمْ ۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ ࣖ
Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Al-Baqarah : 129)
Berdasarkan ayat diatas, mendidik mencakup tiga unsur yaitu tilawah (membacakan), Ta’lim (mengajarkan) dan tazkiyah (mensucikan jiwa)
Arah Pendidikan Mulai Berubah
Seiring dengan berjalannya waktu pendidikan tidak hanya dilakukan secara konvensional. Hari ini pendidikan telah dilembagakan dalam sebuah institusi yang bernama sekolah. Sebuah institusi dengan kurikulum dan target pencapaian yang terukur, dan dalam renta waktu yang telah ditentukan.
Lembaga pendidikan yang pada mulanya adalah wadah untuk mewujudkan cita-cita mulia mencerdaskan ummat dan menyiapkan generasi penerus. Lambut tahun karena terkena imbas dari kapitalisme dan materialisme tidak sedikit yang berorientasi profit dan bisnis. Artinya lembaga pendidikan ini tidak murni menyelenggarakan pendidikan namun juga dilandasi atas hitung-hitungan untung dan rugi. Maka tidak heran jika ada Lembaga yang mematok biaya Pendidikan dengan nilai yang tinggi, karena untuk menutup biaya operasional sekaligus mengambil keuntungannya. Sekolah dijalankan dengan strategi sebuah perusahaan, hubungan antara pemilik Yayasan dengan para pendidiknya seperti bos dan karyawan. Begitu juga hubungan antara guru dengan murid seperti pelayan dan konsumen.
Pendidikan yang hanya melihat keberhasilan Pendidikan pada pencapaian nilai, dan target materi. Maka tenaga pendidik pun juga memiliki pandangan yang sama bahwa kewajiban mereka yang penting hanya menyampaikan materi dan mentransfer ilmu kepada peserta didiknya sesuai dengan alokasi waktu dan jadwal yang telah ditentukan.
Karena dibangun di atas landasan hubungan kontrak kerja, maka seolah tidak ada rasa beban tanggungjawab menjadikan peserta didik sebagai manusia baik dari sisi ilmiyah sekaligus berkarakter dari sisi kejiwaannya.
Ikhlas dalam Mendidik
Pekerjaan mendidik termasuk amalan yang paling utama, sebab pekerjaan ini merupakan pekerjaan para Nabi dan Rasul. Hendaknya setiap pendidik sadar bahwa dirinya sedang memerankan tugas mereka dan meneruskannya. Menghadirkan pada dirinya perasaan bahwa mereka mengemban tugas dan tanggungjawab untuk menunjukkan manusia ke jalan yang lurus dan menjauhkan mereka dari kesesatan.
Dikarenakan mendidik adalah tugas para Nabi dan Rasul maka para pendidik dituntut untuk mengikhlaskan pekerjaannya hanya mengharap imbalan dari Allah semata. Tidak mengharap dari pekerjaannya itu imbalan materi dunia. Allah berfirman mengisahkan ucapan para Nabi dan Rasul-Nya ketika berdakwah:
وَمَآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ اَجْرٍۚ اِنْ اَجْرِيَ اِلَّا عَلٰى رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ۗ
“Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu; imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam.” (Asy-Syura : 127)
Mendidik merupakan sebuah bentuk ibadah dan taqarrub (mendekati diri) kepada Allah SWT. Dengan ibadah itu kita mengharap pahala dan balasan dari-Nya. Sedangkan amalan yang diterima oleh Allah SWT adalah yang niatnya ikhlas dan jauh dari syirik.
Berbicara tentang mengikhlaskan niat berarti membahas suatu amalan hati yang paling berat untuk dilakukan seorang manusia. Yang demikian karena besarnya dominasi ambisi nafsu manusia yang sangat bertentangan dengan keikhlasan dalam niat, kecuali bagi orang-orang beriman yang diberi kemudahan oleh Allah SWT dalam semua kebaikan.
Termasuk penyimpangan niat yang banyak menimpa manusia dan menodai kesucian ibadah mereka, selain perbuatan riya’ adalah terselipnya niat dan keinginan duniawi pada amal ibadah yang dikerjakan manusia. Penyimpangan ini penting untuk di ketahui, karena sering menimpa seseorang yang berbuat amal kebaikan tapi dia tidak menyadari terselipnya niat tersebut, padahal ini termasuk bentuk kesyirikan yang bisa menodai bahkan merusak amal seorang hamba. Allah SWT berfirman:
{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15)
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Huud : 15-16)
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal shalih yang di lakukan dengan niat duniawi adalah termasuk perbuatan syirik yang bisa merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga dan perbuatan ini bisa menggugurkan amal kebaikan. Bahwakan perbuatan ini lebih buruk dari perbuatan riya’ (menperlihatkan amal shalih untuk mendapat pujian dan sanjungan). Karena seorang yang menginginkan dunia dengan amal shalih yang dilakukannya, terkadang keinginannya itu menguasai niatnya dalam meyoritas amal shalih yang dilakukannya. Ini berbeda dengan perbuatan riya’ karena riya’ biasanya hanya terjadi pada amal tertentu dan bukan pada mayoritas amal, itupun tidak terus-menerus. Meskipun demikian, orang yang beriman tentu harus mewaspadai semua keburukan tersebut.
Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab At Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: termasuk (perbuatan syirik adalah jika seseorang menginginkan dunia dengan amal (shalih yang dilakukannya).
Abdullah bin Abbas berkata tentang makna ayat diatas (Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia) artinya balasan duniawi, (Dan perhiasaanya) artinya harta (Niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna) artinya kami akan sempurnakan bagi mereka balasan amal perbuatan mereka (di dunia) berupa Kesehatan dan kegembiraan dengan harta, keluarga dan keturunan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengisyaratkan makna lain dari perbuatan ini, yaitu seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah bukan karena riya’ atau pujian, niatnya ikhlas karena Allah, akan tetapi dia menginginkan suatu balasan duniawi, misalnya harta, kedudukan duniawi, Kesehatan pada dirinya, keluarganya dan keturunannya, dan yang semacamnya. Maka amal kebaikannya dia menginginkan manfaat duniawi dan melalaikan atau melupakan balasan akhirat.
Adapun perbedaan antara kedua ini dengan perbuatan riya’, maka perbuatan ini lebih luas dan lebih umum dibanding perbuatan riya’, bahkan riya’ adalah salah satu bentuk keinginan duniawi dalam beramal shalih.
Perbuatan riya’ bertujuan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dengan amal shalih, sedangkan perbuatan ini tidak bertujuan untuk mendapat pujian, tapi ingin mendapatkan balasan duniawi dengan amal shalih, seperti harta, kedudukan, Kesehatan fisik dan lain-lain.
Tag :